[Khutbah Jumat] Kesepakatan dalam Perbedaan Demi Persamaan

Khutbah Jumat

Khotbah Jumat kemarin menurut saya sangat menarik untuk dibahas kembali. Masih senafas dengan tulisan saya sehari yang lalu. Saya lupa siapa nama khatibnya, tetapi saya kagum dengan penjelasan beliau yang melandaskan rasionalitas dengan ruh Al-Quran. Lalu apa sih yang dibahas oleh sang Khatib? Oke saya ceritakan.

Tema khotbah Jumat kemarin di Masjid Salman membahas tentang perbedaan pendapat. Awalnya ketika beliau mengatakan bahwa Ramadhan sudah menjelang, namun umat Islam sudah dihadapkan dengan perbedaan pendapat. Saya mengira beliau akan membahas masalah Pilpres 2014 yang nantinya jatuh di pertengahan bulan Puasa. Mungkin karena saya sudah jengah dan mual dengan isu Pemilihan dan perbedaan pendapat antarpendukung. Eh, ternyata dugaan saya salah. Ada satu hal yang terlewatkan dari pikiran saya. Beliau mengatakan perbedaan pendapat yang dimaksud adalah penentuan tanggal 1 Ramadhan tahun ini.

Sang khatib mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia terlalu disibukkan dengan perbedaan pendapat dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan. Beliau tidak mengatakan secara eksplisit siapa yang berselisih, namun saya berkesimpulan awal bahwa beliau mengacu pada konflik antara NU dan Muhammadiyah. Ruqyat atau Hisab. Mungkin bukan hanya itu, masih ada jamaah tarekat Naqsabandiyah dan tarekat lainnya. Kalau tarekat yang saya sebutkan juga memiliki konsep penentuan berbeda sama sekali dengan yang lainnya. Oke, kembali ke perbedaan antara Ruqyat dan Hisab. Sang khatib mengatakan bahwa kedua metode memiliki dasar yang sama kuatnya. Namun, penentuan akhir tanggal 1 Ramadhan seharusnya melalui mekanisme kesepakatan.

Permasalahan yang terjadi saat ini dan sejak beberapa tahun silam, perbedaan teknik ini justru menjadi komoditas perpecahan. Seringnya Muhammadiyah tidak sepakat dengan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Agama (kebanyakan dipimpin oleh ulama NU). Inilah perpecahan yang terjadi antara umat Islam di Indonesia. Ormas telah tumbuh menjadi lembaga adikuasa yang dapat menafikan peran negara dalam menentukan kebijakan umum. Jika melihat media, semua golongan saling ngotot bahwa caranya benar. Padahal, kedua cara yang digunakan sudah benar. Bahkan sang khatib menjelaskan kedua metode penentuan hari tersebut dengan ilmiah dilandasi oleh Al-Quran dan Hadis. Jadi, masalah utama yang ada sebenarnya bukan pada selisih pendapat cara penentuan hari, namun lebih pada egosentris manusia yang saling berselisih itu. Parahnya masyarakat juga ikut tersulut emosi untuk saling membedakan hal yang sudah dari awal jelas bedanya.

Ada satu proposal yang disampaikan oleh khatib, bahwa seharusnya hal ini dapat didiskusikan dan dirapatkan bersama-sama. Perlu ada kesepakatan bersama agar tidak menimbulkan kebingungan. Saya kira pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, sudah benar ketika mengadakan sidang isbat. Semua organisasi masyarakat seharusnya ikut dalam sidang tersebut untuk urun rembuk. Terlepas apakah biaya sidang isbat itu menghabiskan dana yang besar untuk dikorupsi oleh oknum Kementerian Agama atau tidak. Itu urusan lain lagi. Saya sedih ketika melihat orang yang intelektualnya tinggi di Muhammadiyah seperti Din Samsudin menolak untuk datang ke sidang Isbat hanya karena Kemenag dipimpin oleh Suryadharma Ali. Alasan yang absurd menurut saya. Saya melihat ada bibit kesombongan di sini. Inilah yang menyebabkan kita sulit untuk mengambil kesepakatan bersama dalam menentukan 1 Ramadhan, begitu juga 1 Syawal.

Padahal, sang khatib menjelaskan bahwa segala bukti ilmiah yang menunjukkan kebenaran dua metode tersebut telah terhimpun dari ilmuan seluruh Indonesia. Permasalahan utamanya hanya terletak pada keengganan untuk membuat kesepakatan bersama. Jika waktu sholat saja bisa dibuat generik dan berlaku puluhan tahun, lalu kenapa penanggalan Hijriah tidak dapat dilakukan? Ini anomali. Sang khatib bahkan memaparkan sejarah penanggalan Hijriah dan Masehi. Masehi saja sampai saat ini masih dianggap valid dan justru digunakan di seluruh dunia. Kalender Hijriah juga sebenarnya telah digunakan berdampingan dengan Masehi di beberapa negara dan berlaku puluhan tahun. Artinya penentuan kalender menggunakan perhitungan dan pengamatan perputaran bulan dengan akurasi tinggi. Sehingga validasinya bisa dikatakan telah hampir paripurna.

Saya lalu bertanya sendiri. Kenapa Indonesia sebagai negara yang sebagian besar bangsanya menganut Islam, hidup dengan perselisihan yang sebenarnya ada jalan keluarnya? Apakah kita harus digempur perang oleh Israel seperti Palestina agar bisa bersatu demi satu kesamaan visi? Seharusnya umat Islam tidak sibuk mencari perbedaan, namun fokus pada kesamaan landasan yaitu Al-Quran dan Hadis. Penafsiran boleh berbeda, namun ketika perbedaan sudah melenceng jauh berarti ada yang salah dari pemahaman kita dalam menafsir. “Tafsir” yang saya maksud bukan tafsir sendiri melainkan hasil upaya dari ulama terdahulu. Tetapi ya kembali lagi pada prinsip bahwa setiap manusia memiliki pemahaman berbeda terhadap hal yang sama. Namun, bukan untuk berselisih tetapi lebih pada berdiskusi. Ya, kiranya itulah resensi khotbah ditambah pendapat saya dalam menerjemahkan isi khotbah sang khatib. Jika ada yang salah, berarti itu milik saya. Kebenaran hanya milik Allah SWT.

Leave a comment