Bertetangga, Serumpun, Tapi Berbeda Budaya, Beda Cara Dalam Keseharian

Sudah seminggu menginjakkan kaki kembali di tanah Seremban, Negeri Sembilan Darul Khusus. Buat kawan yang belum tau, itu salah satu provinsi yang ada di negara Malaysia. Empat tahun lalu, saat sebelum Covid melanda dunia saya sempat berkunjung ke tempat ini atas “traktiran” dari kakak yang sudah menjadi warga negara di sini. Nah ada banyak hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan negara yang satu ini. Sekalipun saya sempat mengenyam pendidikan dasar di Malaysia, rasanya banyak hal yang sulit untuk dibandingkan dengan negara Indonesia. Ada banyak hal yang menurut saya Malaysia lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia, tapi bukan berarti Indonesia lebih jelek dibandingkan Malaysia loh ya. Okelah kita bahas dulu.

Disiplin dan Tertib

Siswa Sekolah Tertib Dalam Kelas

Sejak dulu, jika ingin membandingkan Indonesia dengan Malaysia dalam soal kedisiplinan dan ketertiban, saya dapat mengacungi jempol untuk urusan ini kepada Malaysia. Sewaktu masih sekolah dasar, saya jarang sekali mendapati siswa berkeliaran di luar kelas saat jam kosong atau tidak ada guru di ruangan. Kami tetap sibuk berada di dalam kelas walaupun untuk sekedar bermain. Selang 20 tahun kemudian, saya melihat suasana sekolah di sini tetap tertib seperti dulu. Ini yang menunjukkan perbedaan kecerdasan sosial siswa Malaysia dengan Indonesia secara umum. Di Indonesia tentu ada sekolah yang siswanya tertib, tetapi kalau di-generalisir, sampai saat ini pun kita tertinggal jauh soal tertib dan disiplin. Ini apa yang saya lihat secara langsung di sini loh ya. Entah kalau ada sekolah di Malaysia yang ternyata tidak disiplin, itu di luar pantauan saya.

Tertib Berlalu Lintas

Ini juga jadi catatan yang sangat penting bagi pendidikan berlalu lintas di Indonesia. Saya melihat pengendara di sini sangat tertib dalam mematuhi aturan berlalulintas. Contohnya, kalau jalur jalan raya diperuntukkan bagi pengendara yang ingin berbelok, pengendara yang ingin lurus tetap berada di jalur untuk lurus. Sekalipun saat lampu merah, jalur untuk berbelok tidak ada kendaraan sama sekali. Kalau di Indonesia, sudah bisa dipastikan jalur yang kosong tadi itu sudah terisi kendaraan. Pengendara di Indonesia lebih mudah untuk melanggar aturan lalu lintas. Entah itu karena memang dasarnya bandel, atau tidak punya pengetahuan berlalulintas karena SIM-nya “nembak”, atau tidak punya empati terhadap pengendara yang seharusnya berhak, atau fasilitas jalan raya yang tidak dirancang untuk tertib. Tapi satu yang menurut saya menjadi faktor utama, yaitu pendidikan berlalulintas dan peraturan yang longgar.

Saya ingat sekali dulu ketika bersekolah di Malaysia, kami mendapatkan pendidikan berlalulintas yang merupakan bagian dari kurikulum nasional. Bahkan simulasinya langsung di lapangan atau taman lalu lintas. Padahal kalau dipikir-pikir, sekolah saya dulu adalah sekolah pedalaman namun masih punya fasilitas untuk pendidikan berkendara. Ini sih yang menurut saya menjadi faktor mengapa ketika remaja, kecenderungan untuk mematuhi peraturan lalu lintas lebih mudah terbentuk. Beda halnya ketika saya sekolah menengah di Indonesia, teman-teman sekolah tidak ada yang mematuhi peraturan lalu lintas, karena memang sejak pendidikan dasar tidak diberikan pemahaman. Ini yang sangat perlu diikuti oleh pendidikan di Indonesia, bukan terlalu fokus pada kemampuan kognitif saja. Padahal pendidikan yang berhasil adalah ketika setiap orang berperilaku terdidik. Kebanyakan di Indonesia, orang hanya bersekolah tapi tidak terdidik. Tentu sangat berbeda.

Disiplin Bersyariat

Salah satu kegiatan saya saat di Seremban adalah membantu kakak berjualan di warung. Beliau berjualan kue basah selama bulan Ramadhan ini. Ada hal yang berbeda dalam transaksi jual beli di sini. Setiap ada yang pelanggan yang membeli, kebanyakan dari mereka akan mengatakan “Saya beli ya”, dan kami membalas “Saya jual ya”, atau sebaliknya. Nah, ini memang termaktub dalam syariat bahwa setiap jual beli harus punya akad. Si penjual dan si pembeli saling mengucapkan akad jual beli. Di Indonesia, hanya ada beberapa tempat yang punya budaya akad jual beli.

Bukan hanya itu, di Malaysia, setiap pendirian musholah dan masjid memiliki aturan yang sangat ketat dari Pejabat Mufti (semacam MUI). Jadi, wajar di sini tidak banyak mushola atau masjid bertebaran seperti di Indonesia. Ternyata di sini, setiap rumah ibadah yang dibangun harus memiliki struktur kepengurusan dan kegiatan yang jelas. Misalnya ketika saya sholat Jumat di Masjid Munawarah Kariah Pachor Jaya (MMKPJ), mereka memiliki kegiatan yang sangat banyak dalam urusan keumatan. Di sana, sebelum adzan Jumat, ada pengajian untuk mengisi kekosongan dalam menunggu masuk waktu sholat Jumat. Masjid di sini juga besar dengan rata-rata kapasitas di atas 1000 jamaah. Di MMKPJ saja bisa menampung 2000 jamaah. Jumlah imam rathibnya ada 6 orang dengan jadwalnya masing-masing. Dengar-dengar semua pengurus dan petugas di masjid mendapatkan tunjangan dari pemerintah Kerajaan Malaysia dan jumlahnya cukup untuk biaya hidup. Jadi, wajar kalau masjid di sini makmur. Berbeda dengan di Indonesia, banyak masjid atau mushola yang bahkan tidak punya struktur kepengurusan dan petugas tetap. Semua dikelola swadaya pendiri tanpa organisasi yang jelas. Contohnya masjid di sekitar rumah saya di Metro, bahkan sampai saat ini tidak punya imam rathib, “boro-boro” mau 6 imam, satu saja tidak ada.

Banyak Kemudahan dan Sederhana

Beli Mobil/Motor Gak Perlu Nunggu Plat Jadi Berbulan-Bulan

Empat tahun lalu, kakak saya beli motor di salah satu dealer motor terdekat. Saat itu saya sempat menemani pengurusan pembelian motor merk Bennelli. Jadi setelah kami menentukan pilihan motor yang akan dibeli, kakak saya mengurus administrasi pembayaran melalui bank. Setelah itu kami disodori daftar nomor plat yang disukai melalui sebuah monitor. Ini yang menarik perhatian saya, sebagai orang yang berkecimpung di bidang teknologi informasi, aplikasi web mereka sangat-sangat sederhana bahkan tugas kuliah dari mahasiswa saya jauh lebih bagus tampilannya. Tapi, bukan soal tampilan yang penting di sini, tetapi sistemnya bekerja dengan baik dan memudahkan kami. Hanya butuh pengurusan 1 jam saja, motor yang dibeli sudah terpasang plat kendaraan dan menerima STNK (lebih tepatnya kartu nomor kendaraan). Kalau mau dibanding ketika saya membeli motor Vario dulu, butuh waktu 3 bulan saya menerima STNK, dan 1 tahun untuk mendapatkan plat nomor kendaraan. Padahal sistem pembayaran kakak saya dan saya ketika beli motor sama saja, yaitu “nyicil”.

Entah kenapa kalau melihat mudahnya pengurusan administrasi di Malaysia, saya jadi malu di Indonesia. Di sini prinsipnya kalau bisa dimudahkan, kenapa harus ribet. Berbanding terbalik dengan pengurusan administrasi di Indonesia, rasanya kalau semua bisa dibuat ribet, jangan sampai terlalu mudah. Kalau terlalu mudah, sulit sekali untuk meng-uang-kan setiap prosesnya. Haaah.. Memang beda kelas.

Tidak Perlu Bayar Parkir

Nah, kalau berkendara di sini, setiap pusat perbelanjaan dilengkapi dengan fasilitas parkir yang luas, dan GRATIS. Tidak ada tukang parkir siluman seperti yang banyak beredar di Indonesia. Di sini, semua parkir sesuai dengan area yang ditentukan, tidak ada yang asal parkir. Saya hanya menemukan tukang parkir di gedung parkir. Kalau di depan ruko atau supermarket tidak ada sama sekali bunyi pluit tukang parkir.

Itulah sekelumit pantauan saya ketika berada di Malaysia. Mungkin di tulisan berikutnya saya akan membahas pengalaman-pengalaman yang saya rasakan di sini. Beberapa hari ke depan saya mungkin akan diajak berkeliling kota dan tempat wisata di Malaysia.

Itu sudah.

Leave a comment