Dosa Besar Anies Baswedan Adalah Memainkan Politik Identitas, Benarkah Seperti Itu?

Yang buruk sudah lewat, yang paling buruk pemilu itu waktu Pilgub DKI. Seperti Pilgub DKI zamannya Pak Anies, ada Pak Ahok. Atau pilpres zaman Pak Jokowi yang dua pasang, dua kali. Kita terbelah waktu itu. Oleh karena itu, yang paling buruk sudah lewat.

Zulkifli Hasan – Ketum PAN

Pemilihan Gubernur DKI 2017 lalu memang menjadi pemilihan yang menjadi sorotan nasional melebihi pemilihan sebelumnya. Bagaimana tidak, sosok Anies Baswedan muncul untuk mengimbangi Ahok yang bisa dikatakan sangat kuat untuk melanjutkan kepemimpinannya di DKI Jakarta. Sosok Ahok saat itu sangat mentereng sehingga diprediksi sulit untuk dilawan, apalagi beliau didukung oleh Pemerintah Pusat (Rezim Jokowi). Namun, saat itu entah kebetulan atau tidak, Ahok melakukan blunder dengan ucapan yang dikatakan merendahkan Islam. Kalau saya memandang saat itu, Ahok mencoba menggunakan logika filsafat untuk menerangkan surah Al-Maidah ayat 51, namun dirasa tidak tepat karena bukan porsi beliau untuk membahas itu. Apalagi dilakukan dengan tendensi yang mengatakan rakyat ditipu oleh ayat Qur’an. Jelas Ahok memainkan politik identitas di sini yang mencoba menyudutkan agama mayoritas yang sedang mabuk agama (baca Islam).

Sebelum lebih jauh saya bahas, kita terangkan dulu apa sebenarnya Politik Identitas itu.

Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

Sontak saat itu muncullah Gerakan 212 yang terpantik dari amarah umat Muslim di seluruh Indonesia mengutuk Ahok yang telah menghina Islam. Kalau kawan lupa, ini tautan untuk dibaca. Saya kutip ucapan Ahok pada 27 September 2016 di Kepulauan Seribu kala itu.

Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu

Ada pro dan kontra tentunya, karena sangat kental dengan unsur politik. Hal ini yang dimanfaatkan oleh tim lawan Ahok untuk menjatuhkan beliau dan karena Pilgub DKI dimenangkan oleh Anies Baswedan yang kala itu berpasangan dengan Sandiaga Uno, jadilah Anies di-cap sebagai orang yang memainkan politik identitas untuk berkuasa.

Saya ingin katakan bahwa saat itu memang ada dua momentum yang terjadi di waktu yang bersamaan. Pertama Ahok entah sadar atau tidak telah menghina orang Islam. Kedua pemilihan yang memenangkan Anies Baswedan. Gerakan 212 yang berjilid-jilid salah satu yang membuat momentum ini menjadi sangat besar.

Saya melihat ini bentuk kejelian tim pemenangan Anies Baswedan untuk menggunakan momentum Gerakan 212 sebagai jalan untuk memenangkan kontestasi karena tim petahana digempur masalah SARA. Mungkin inilah yang membuat Anies dibenci oleh Ahokers kala itu dan selalu disematkan “Bapak Politik Identitas” kepada beliau. Tidak hanya sampai di situ, Anies yang sejak dulu dekat dengan ulama sering dikatakan menggunakan ke-Islam-an beliau untuk mengeruk dukungan umat.

Saya memandang ini sesuatu yang bisa diperdebatkan. Apakah benar Anies Baswedan menggunakan politik identitas untuk berkuasa? Kalau melihat dari rekam jejak beliau saat memimpin Jakarta, saya tidak melihat kebijakan beliau yang hanya menguntungkan Islam saja. Bahkan saya melihat beliau lebih banyak memberikan akses ibadah dan kegiatan keagamaan untuk selain Islam. Padahal jika diisukan bahwa jika memilih Anies Baswedan, maka Jakarta akan menjadi seperti Suriah kala itu. Justru yang terjadi adalah kebalikannya. Lalu, mengapa Anies tetap dianggap berdosa atas praktik “Politik Indentitas”?

Kalau mau dilihat, justru Jokowi yang memainkan politik identitas ugal-ugalan. Lihat saja ketika Pilpres 2019 bagaimana beliau selalu ditampilkan sebagai pemimpin Islam yang berpengaruh di dunia. Belum lagi ditampilkan menjadi imam sholat dan sampai Yusuf Mansur mengatakan tajwidnya bagus. Ini yang jelas-jelas Politik Identitas karena setelah menjabat, tidak pernah lagi kita melihat Jokowi memimpin sholat. Bahkan untuk sekedar jadi khotib acara besar keagamaan pun tidak. Seolah-olah identitas ke-Islam-annya hilang saat sudah menikmati kekuasaan.

Ini menjadi kritik saya. Apakah salah ketika kita yang menjalankan ke-Islam-an kita di depan orang lain? Menunjukkan identitas Islam menjadi salah. Sama saja kan dengan saudara kita yang Kristen berkalung Rosario, atau yang Hindu Bali ber-bija. Jadi, ketika ada yang mengatakan bahwa Anies Baswedan melakukan dosa politik dengan memainkan Politik Identitas adalah tuduhan tidak terpuji dan kejam. Apalagi mengatakan beliau berjualan agama, lalu yang dilakukan oleh Yusuf Mansur itu apa?

Itu sudah!

Leave a comment