Dirty Vote: Sekotor itu Lumpur Yang Menodai Demokrasi

Kawan sudah menonton Dirty Vote? Kalau belum, mungkin boleh menonton di tautan berikut ini. Kalau sudah hilang berarti kawan boleh buka channel seperti Refly Harun, Abraham Samad, Rocky Gerung, dan lain-lain yang sudah berhasil membagikan video ini. Wajar hilang dari pencarian karena isu yang diangkat mengacaukan rencana penguasa untuk semakin menggila mengoyak demokrasi di Indonesia.

Sumber Asli: Dirty Vote Channel

Buat kawan yang sudah menonton film dokumenter ini tentu akan tergelitik untuk ikut berkomentar. Saya sendiri sampai begadang tidak lama setelah film ini diunggah di Youtube. Saat itu saya masih menonton di kanal milik PSHK. Lalu apa yang dapat saya tangkap dari penjelasan yang dipaparkan oleh tiga pakar hukum yang tidak bisa diragukan kompetensinya. Zainal Arifin Mochtar misalnya, selain seorang akademisi di bidang Hukum, pernah juga menempati posisi penting di badan pemerintahan dan BUMN. Tak jauh beda dengan Bivitri Susanti, beliau adalah seorang akademisi di bidang Hukum. Kiprahnya di dunia hukum sempat membuat dirinya menerima Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada tahun 2018. Bukan kaleng-kaleng kalau kata anak muda sekarang. Feri Amsari sendiri adalah pendidik dan peneliti dengan hasil karya buku dan naskah penelitian di bidang hukum. Jadi kalau ada yang berkomentar Dirty Vote dibuat oleh orang yang tidak kompeten, itu berarti dia hanya bicara tanpa mencari informasi. Inilah yang membuat kenapa film dokumenter ini menarik untuk dibahas.

Dokumenter yang panjang hampir 2 jam ini, sebenarnya belum mengekstraksi semua permasalahan demokrasi yang sedang dikoyak-koyak oleh rezim Jokowi. Tentu bagi kawan yang sudah mengikuti sepak terjang politik Jokowi semenjak menjadi Presiden Indonesia di tahun 2014 hingga sekarang, ada kejengahan yang muncul. Terlebih lagi saat Pemilu 2019 yang sarat sekali dengan kecurangan tersistematis membuat nurani ini tercabik-cabik. Bagaimana mungkin polarisasi terjadi begitu masif dan dipermainkan oleh elit politik. Lebih menyakitkan lagi ketika pendukung Prabowo yang berharap dia tetap sebagai opisisi sesuai janjinya saat kampanye ternyata hanya “tipuan” belaka untuk mendulang suara para pemilih yang bergerak dengan hati, bukan karena sumbangan amplop ataupun paket bansos. Menyakitkan? Tentu sangat. Lalu apa yang disajikan oleh Dirty Vote paling tidak membuat kawan sekalian untuk membuka mata. Republik Indonesia sedang masuk cengkeraman oligarki yang sewenang-wenang lewat tangan penguasa negeri. Fakta potensi kecurangan yang dipaparkan oleh Dirty Vote memang bermuara lewat semakin bernafsunya Jokowi untuk berkuasa. Tapi pertanyaannya, apakah benar Jokowi yang mendesain semua ini? Bisa ya bisa juga bukan, karena ada banyak otak yang bermain di sini.

Siapa yang kebakaran jenggot dengan munculnya film ini, sampai-sampai terkena Shadow Banned di Youtube. Bahkan, bukan hanya TKN02 yang klarifikasi, aparat pemerintah pun ikut-ikutan memberikan klarifikasi. Dokumenter ini bisa membuat ketiga pakar hukum di dalamnya dalam kondisi berbahaya. Masih ingat dengan kasus kematian 300an petugas KPPS yang diduga diracun? Bisa jadi ini akan terjadi kembali. Kalau nyawa 300an orang bisa dihilang begitu saja dengan dalih kelelahan saat bertugas, bisa saja mereka yang “hanya” bertiga dihilangkan dengan skenario busuk. Ini mungkin ada kecenderungan, tapi semoga Allah Azza Wa Jalla melindungi mereka semua yang terlibat di dokumenter ini.

Apa pandangan saya terkait film ini? TIDAK CUKUP! Karena sebenarnya ada banyak kejanggalan yang terjadi, walaupun mereka menjelaskannya mulai dari hulu (baca KASUS PAMAN DI MK) hingga manuver kabinet Jokowi dalam pilpres untuk memuluskan Dinasti Politik Jokowi. Kalau film dokumenter Sexy Killer di tahun 2019 membahas siapa yang diuntungkan atas terpilihnya Jokowi, Dirty Vote kembali menyambung benang merah atas rusaknya demokrasi di Indonesia. Kalau kawan bertanya, apa saja kejanggalan yang tidak dibahas. Ini salah satunya. Soal dana yang beredar dalam kampanye-kampanye politik, banyak sekali yang tidak terlaporkan. Bahkan Intelijen Keuangan dari PPATK mendapati bahwa traksaksi uang tunai meningkat drastis sejak tahun 2022 hingga 2024 menjelang masa tenang pemilu. Iya sih, ini memang tidak masuk dalam ranah bidang keahlian ketiga pakar di Dirty Vote, tapi ini menarik untuk dibahas. Dari mana asal uang yang dikeluarkan oleh masing-masing calon. Sekalipun Capres 01 yang dikatakan minim anggaran, tetap harus juga diusut tuntas. Apalagi dengan Capres 02 yang setiap kampanye sangat bombastis pengerahan massanya. Walaupun Prabowo paling tajir dibandingkan semua calon, bahkan kekayaannya masih lebih besar sekalipun semua kekayaan capres dan cawapres digabung, tetap saja aliran dana dari proyek-proyek Kemenhan harus diusut juga.

Tapi terlepas dari semua dinamika yang terjadi di Indonesia saat ini, apa yang dapat kita kerjakan sebagai rakyat? Satu pilih pilihan yang paling kecil mudharatnya dan paling kecil potensi keburukannya. Mulai buka mata, apa prestasi kinerjanya. Seberapa besar pengaruh prestasinya untuk kemajuan Indonesia. Anies punya baik dan buruk, begitu juga dengan capres lainnya. Tapi, lihatlah kinerja yang berhasil dengan yang tidak berhasil. Mana yang paling kecil pengaruh buruknya bagi pembangunan Indonesia. Tidak selamanya kebijakan dan janji politik dikerjakan 100% baik. Ada yang mungkin di bawah 50% pengerjaannya, ada juga mungkin 130% hasil pengerjaannya. Jadi, jangan jadikan kegagalan di satu janji atau rencana lalu menghancurkan 100 kerja yang berhasil. Kalau gagal, coba cari tau kenapa gagal? Bukan dihujat, tapi cari tau kenapa. Itulah kenapa Allah menciptakan manusia dengan otak sempurna untuk berpikir. Hanya otak hewan yang bekerja dengan insting, bukan kontemplasi. Setelah itu, tentu kawan akan mampu memilih kebenaran, bukan ketenaran.

SALAM PERUBAHAN

One thought on “Dirty Vote: Sekotor itu Lumpur Yang Menodai Demokrasi

Leave a comment