[Khutbah Jumat] Simbol, Makna, dan Esensi Ibadah

Seharusnya tulisan ini saya post kemarin, namun saya tidak sempat menulis untuk membahas isi khutbah Jumat di Masjid Salman ini. Saya lebih fokus melanjutkan proyek menulis 101% Indonesia. Alhamdulillah, isi khutbah Jumat kemarin sederhana namun padat makna sehingga saya masih ingat dengan jelas. Padahal kemarin saya mengantuk berat karena begadang hingga subuh mengerjakan revisi tesis. Jumat kemarin, sang Khatib membahas tentang pemahaman simbol, makna, dan esensi (hakikat) dari sebuah ibadah.

Simbol, menurut khatib, adalah sesuatu hal yang dijadikan pola dalam ibadah. Misalnya, ketika sholat kita rukuk dan sujud. Itu sebuah simbol. Di balik simbol ada makna yang terkandung di dalamnya. Contohnya ketika kita mengangkat tangan dalam posisi hormat, itu bermakna kita menghormati orang yang ada di depan kita. Tentara melakukan posisi hormat kepada atasan mereka tanpa kata tetapi semua orang paham maknanya adalah menghormati atasan. Begitu pula shalat. Ketika kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram (simbol), bermakna kita mengagungkan Allah SWT dengan ucapan Allahu Akbar. Begitu pula setiap gerakan yang terdapat dalam shalat. Semuanya untuk menunjukkan bahwa kita (manusia) hanyalah makhluk rendah di hadapan ke-Agung-an Allah SWT.

Esensi dalam ibadah adalah sesuatu yang melatarbelakangi mengapa ibadah itu harus kita laksanakan. Inti dari sebuah ibadah, mungkin begitulah maksudnya. Esensi shalat adalah mengingat Allah, doa, dan paling penting mencegah perbuatan keji dan mungkar. Lalu mengapa ada orang yang shalat namun menyakiti saudaranya? Shalat tetapi buang sampah di sebarang tempat. Shalat tapi korupsi. Inilah yang dikatakan oleh khatib, bahwa shalat kita sudah kehilangan esensinya. Esensi puasa yang seharusnya meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT malah berubah menjadi fokus pada perayaan Idul Fitrinya. Kita sudah banyak kehilangan esensi ibadah.

Ada yang menjadi fokus utama dalam khutbah Jumat kemarin. Khatib menekankan bahwa kita terlalu sering salah pemahaman tentang simbol. Kita lebih suka menyalahkan simbol padahal simbol dalam ibadah sifatnya bisa dimaafkan (kompromi). Beda dengan esensi yang tidak ada komprominya. Maksudnya seperti apa? Misalnya gerakan shalat, ada yang bisa dimaafkan jika kita tidak bisa melakukannya dengan benar. Ketika sakit kita boleh melakukan gerakan shalat sesuai kemampuan kita. Begitu pula dengan pelaksanaan ibadah lainnya. Lalu, mengapa kita lebih suka menyalahkan atau lebih ekstrim lagi mengkafirkan orang yang berbeda simbol ibadahnya? Simbol ibadah hanya bersumber dari hadist Rasulullah. Hadist memiliki sifat bisa dipercaya atau tidak menurut kapasitas perawinya. Konsepnya jelas, kalau ada dua hadist yang membahas suatu simbol ibadah dengan sudut pandang berbeda namun keduanya sahih, berarti kita boleh memilih salah satunya. Bukan dengan menyalahkan orang yang pilihannya berbeda dengan kita. Kalau tidak dasar hukum yang jelas, berarti simbol itu harus ditinggalkan.

Makanya, khutbah kemarin mencoba mengkritisi kebiasaan masyarakat kita saat ini. Eh, sejak dulu juga banyak yang begitu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Belajar memahami sesuatu sebelum bertindak lebih jauh. Intinya kita harus memahami esensi dari sebuah perintah ibadah. Kesalahan bagi kita adalah ketika kita tidak mau belajar. Belajar tentu terkadang melakukan kesalahan pemahaman. Namun selama kita mau tetap belajar, InsyaAllah akan dibimbing oleh Allah SWT. Itulah konsep hidayah. Hidayah hanya untuk mereka yang mencari. Entah itu lewat lisan maupun pikiran. Belajar akan membawa kita pada pemahaman hakiki tentang esensi ibadah. Pada akhirnya kita tau, apa esensi dari kehidupan kita di dunia. Ingat, bukan ibadah yang menjadi patokan kita masuk surga atau neraka, namun kemurahan Allah SWT-lah yang menentukannya. Cara yang tepat untuk menggapai kemurahan Allah, ya tentu dengan mengejar esensi ibadah itu sendiri. Bingung? Intinya bukan hanya banyaknya ibadah, tetapi esensi ibadah itu yang utama.

Leave a comment