[101% Indonesia #65] Sekolah Adalah Lahan Bisnis

065

Sejak dulu saya selalu mempertanyakan alasan sekolah yang berubah menjadi pasar. Maksud saya sekolah yang menaksir biaya besar padahal fasilitas yang disediakan berasal dari anggaran negara. Ini terutama untuk sekolah milik pemerintah. Kalau sekolah swasta tentu saya terima alasan mereka karena sejatinya sekolah swasta tidak disubsidi oleh pemerintah. Lah, kalau sekolah negeri kok harus bayar mahal?

Setiap wilayah tentu ada satu atau lebih sekolah yang mensyaratkan biaya besar bagi calon siswa untuk bisa masuk ke sana. Sekolah seperti ini tidak melihat kemampuan akademis si calon siswa melainkan kemampuan keuangan. Tentu tidak semua siswa yang masuk ke sekolah seperti itu adalah anak orang kaya. Mereka juga menerima siswa yang berada di kelas ekonomi bawah dan menengah. Biasanya siswa seperti ini adalah penerima beasiswa dari pemerintah atau perusahaan swasta. Jumlah mereka sangat sedikit, seperti potongan zakat harta saja cukup 2,5%. Sekolah seperti ini biasanya beralasan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh siswa adalah untuk pembangunan dan sarana prasarana. Ada juga sekolah yang menggunakannya untuk honor tutor bimbingan belajar. Nah lho, gurunya kerja apa kalau ada tutor bimbel yang mengajar? Ini benar-benar terjadi di salah satu sekolah negeri di DKI Jakarta. Saya hanya tertawa geli mendengar berita itu. Pihak sekolah ini terlalu mengada-ada dalam membuat program terobosan sekolah.

Sekolah menjadi lahan bisnis sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Kalau dulu, saya sering mendapat kewajiban untuk membeli buku diktat dari guru mata pelajaran tertentu. Tidak boleh beli di toko buku melainkan melalui sang guru karena beliau sudah bekerja sama dengan distributor buku sekolah. Ada juga guru yang menawarkan bimbingan belajar setelah jam sekolah berakhir. Alasannya supaya kami mendapat pemahaman dan nilai yang bagus. Nyatanya, bimbel itu sebagai sogokan terselubung bagi siswa malas untuk mendapatkan nilai bagus. Saya tidak pernah tertarik untuk ikut, makanya saya harus belajar jauh lebih keras untuk memahami mata pelajaran yang diajarkan sang guru. Ada banyak fenomena berdasarkan pengalaman saya. Pernah juga saya menemukan seorang guru yang memberikan kunci jawaban soal tes masuk sekolah. Saya melihat secara langsung karena orang yang diberikan kunci jawaban duduk di samping saya. Sang calon siswa menawarkan kunci itu kepada saya, tetapi saya lebih percaya dengan kemampuan sendiri. Setelah diterima di sekolah itu, ternyata guru yang memberikan nilai adalah guru agama Islam. Semenjak itulah saya tidak pernah tertarik dengan beliau saat mengajarkan tentang pelajaran agama Islam. Beliau sendiri sudah menyalahi hukum dan keyakinannya sendiri. Miris.

Fenomena ini menjadi pertanyaan besar bagi kita. Mengapa sekolah yang seharusnya menjadi hak bagi anak usia belajar dikomersilkan? Belum lagi sewaktu ada SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dan RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), sekolah menjadi rakus dalam menerapkan biaya sekolah. Standar internasional pun diterjemahkan dengan menggelikan. Asal proses belajar menggunakan bahasa Inggris dan ruangan ber-AC, itu sudah menjadi indikator sekolah internasional. Ada banyak sih standar lainnya, seperti Kompetensi Lulusan, Kurikulum, Proses Belajar Mengajar, SDM, Fasilitas, Manajemen, Pembiayaan, dan Penilaian standar internasional. Sayangnya kurikulum yang digunakan masih juga menggunakan kurikulum lama. Tidak semua sekolah seperti itu, karena ada juga yang benar-benar menerapkan kurikulum berstandar internasional. Untunglah, SBI dan RSBI dihapuskan oleh pemerintah melalui putusan MK karena program tersebut melanggar konstitusi negara.

Pemerintah kita seharusnya sadar bahwa Indonesia bukan hanya pulau Jawa. Standar pendidikan yang sifatnya tinggi dengan persyaratan biaya tinggi ini tidak seimbang dengan kondisi sebagian besar sekolah di Indonesia. Jangankan sekolah di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, di pulau Jawa saja masih banyak sekolah yang memprihatinkan kondisinya. Pemerintah seharusnya mengeluarkan program pemerataan pembangunan dan fasilitas sekolah. Selain itu, perangkat sumber daya manusia sekolah juga ditingkatkan kemampuannya. Masih banyak sekolah yang memiliki guru tanpa dedikasi sama sekali dengan tugas mereka. Seharusnya pemerintah mencanangkan kembali sekolah keguruan untuk mencetak guru-guru di tingkat dasar dan menengah pertama. Guru juga harus memiliki kapasitas mengajar yang baik. Bukan asal menjadi guru saja seperti yang banyak terjadi saat ini. Orang menjadi guru karena ingin diangkat menjadi PNS dan setelah terangkat mereka tidak melaksanakan tugas dengan penuh dedikasi. Miris.

Saya punya harapan besar bagi Menteri Pendidikan saat ini yang dulunya juga mensukseskan program Indonesia Mengajar. Program beliau benar-benar menginspirasi banyak anak muda untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka demi kemajuan Indonesia. Saya juga ingin mendaftar program itu, tapi saya sudah menikah saat itu. Nah, kembali ke urusan sekolah. Saya kira kemajuan pendidikan akan ditentukan oleh bagaimana sebuah sekolah menjadi tempat menyenangkan untuk belajar. Saya ingat sewaktu pindah ke SMA Kelas Khusus LPMP Sulawesi Selatan. Sekolah kami menjadi sangat menyenangkan karena kami belajar dengan guru yang penuh dedikasi. Sekalipun sekolah itu hanya berisi 70 siswa dari berbagai daerah di Sulsel. Selain itu kami tidak harus membayar, justru mendapat beasiswa setiap bulannya. Bukankah itu menyenangkan?

Perbaikan mutu sekolah dari segi fasilitas dan pelayanan tentunya akan mengubah paradigma bahwa sekolah harus bayar mahal. Pemerintah juga harusnya membuat standar jelas dan ketat dalam mengatur operasional sekolah. Saya rasa cara seperti itu akan memudahkan pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap sekolah. Kalau menurut kawan, cara apa yang bisa dilakukan supaya sekolah tidak lagi menjadi lahan bisnis?

Leave a comment