Pentingnya Literasi Untuk Memahami Makna Yang Tersirat Dari Kata Yang Tersurat

sumber foto (Anita Jankovic) by unsplash.com

Akhir tahun 2023 dan awal tahun 2024 ini rasanya akan sangat ramai unggahan atau cuitan yang berhubungan dengan Pemilihan Presiden RI. Tentu banyak pembahasan yang dipicu oleh perdebatan antar pendukung pasangan calon. Entah itu dilakukan oleh akun-akun buzzer atau akun-akun organik. Bahkan banyak juga akun figur publik yang tersulut dengan cuitan atau unggahan dukungan atau sindiran bahkan makian. Nah, di sini saya ingin membahas tentang satu hal yang penting untuk bisa bijak dalam menanggapi segala cuitan atau unggahan terkait dengan Pilpres tahun ini. Apa itu? LITERASI.

Kalau kita melihat pada arti dari kata [Li / te / ra / si] ini, KBBI menjelaskan bahwa LITERASI merupakan suatu kemampuan menulis dan membaca, ataupun pengetahuan serta keterampilan maupun kemampuan seseorang dalam mengolah informasi serta pengetahuan untuk kecakapan hidup. Nah catat di sini, KEMAMPUAN MENULIS, MEMBACA, dan MENGOLAH INFORMASI. Ini penting banget untuk dipahami, bahwa kemampuan seseorang dipengaruhi dari tingkat pengetahuannya. Bukan tingkat pendidikan formalnya ya, walaupun semakin tinggi seseorang dalam tingkat pendidikan formalnya, dapat memberikan ruang untuk mengolah informasi dengan baik. Walaupun, banyak juga yang terjadi orang yang tinggi tingkat pendidikannya, justru miskin literasi. Tapi kita kesampingkan dulu perdebatan atau pembahasan tentang TINGKAT PENDIDIKAN ini. Karena bisa lebih banyak episode tulisan untuk membahas itu.

Oke, kenapa literasi menjadi penting untuk dibahas? Baru-baru ini Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang punya program PISA (Program for International Student Assessment) mengeluarkan hasil bahwa Indonesia termasuk rendah dalam kemampuan membaca. Nilainya bahkan di bawah rata-rata yang ditentukan oleh PISA. Buat kawan yang tak tahu, PISA itu dilakukan untuk mengukur hasil sistem pendidikan untuk melihat kemampuan dan kompetensi siswa usia 15 tahun dalam membaca, pengetahuan matematika, dan ilmu sains dalam konteks dunia nyata. Okelah walaupun ini tidak bisa digunakan untuk mengukur kemampuan secara garis besar penduduk di Indonesia, tetapi kita perlu khawatir karena mereka yang diukur ini adalah masa depan Indonesia nantinya. Oke, terlepas lagi dari perdebatan tentang pengukuran PISA ya. Mungkin bahas di tulisan lain aja ya.

Oke kembali ke poin literasi. Saya ingin mengatakan bahwa peran literasi dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 harus dipikirkan sejak saat ini hingga masa depan. Apa yang akan terjadi kalau orang Indonesia ke depan menjadi miskin literasi? Tentu perdebatan kusir yang terjadi masif di media sosial akan semakin menjadi-jadi. Sudah terlihat kan kawan, bahwa kita yang mulai miskin literasi menjadi mudah tersulut emosi hanya karena ada cuitan yang mungkin menurut kita kontra dengan pemikiran kita. Perbedaan pendapat sebenarnya hal yang wajar, tetapi yang tidak wajar adalah mempertahankan pendapat yang tidak berdasar pada hasil pengolahan informasi. Seringkali kita sibuk membahas sesuatu yang sifatnya kiasan tetapi dibaca dan dipahami sebagai kata kontekstual. Saya beri contoh terdekat saat Capres Paslon 01 mengatakan bahwa “angin tidak punya KTP”. Sontak orang langsung menganggap bahwa ini pernyataan lucu karena menyalahkan angin. Padahal, yang saya tangkap dari pernyataan itu, tersirat bahwa faktor angin berpengaruh terhadap peningkatan polusi di wilayah Jakarta. Bukankah BMKG itu mempelajari pola angin untuk mengetahui perubahan iklim di suatu wilayah? Kenapa yang justru dibahas adalah angin tidak punya KTP. Maknanya tersirat dalam pembahasan yang sangat panjang. Beda cerita dengan pernyataan “ibu hamil diberi Asam Sulfat”, ini bukan kiasan tapi kurangnya literasi yang dimiliki oleh yang memberikan pernyataan.

Sampai di saat ini, ketika penjelasan yang sifatnya saintifik, seringkali dianggap menggurui atau sok tau. Justru pendapat yang dibangun dengan landasan hoaks malah dielu-elukan. Kembali lagi, literasi itu mencerminkan kemampuan menyatakan pendapat yang berlandaskan pada informasi dan pengetahuan. Kalau kita bicara informasi dan pengetahuan, ini berarti berbicara dengan dari mana kita mendapatkan informasi untuk membangun pengetahuan itu. Apalagi sekarang ini banyak sekali sumber yang patut dipertanyakan kredibilitasnya. Misalnya saja, kita coba cari bukti kinerja paslon-paslon saat ini. Sumbernya dari mana? Apakah kredibel? Jangan-jangan sumbernya justru underbow atau media bentukan si paslon itu sendiri yang membangun fiksi tentang prestasi atau bukti kinerja mereka. Atau justru si penulisnya adalah fans garis keras yang membuat tulisannya tidak objektif lagi. Ini yang penting sekali. Makanya kalau boleh mengutip apa yang dikatakan oleh Paslon 01, “lihat rekam jejak, rekam karya, dan rekam gagasan” ini sesuatu yang harus kita lakukan. Bahkan untuk hal negatif yang ditulis atau dicuit berulang-ulang oleh akun tertentu (entah itu buzzer lawan politik atau fans garis keras) pun harus dikaji sumber aslinya. Inilah yang menunjukkan kualitas literasi seseorang.

Saya ambil contoh, ketika ada yang selalu menggaungkan bahwa Paslon 03 itu punya catatan buruk terkait Wadas. Maka, perlu diteliti ada apa dengan Wadas? Kenapa ini menjadi cuitan yang diulang-ulang? Kalaupun ternyata hasil penelusuran tentang Wadas mempengaruhi kita untuk tidak memilih atau justru memilih paslon 02, maka itu bisa dikatakan kita sudah menempatkan literasi dalam mengambil sikap dan pendapat. Tapi kalau kita justru mencuit tentang Wadas tanpa tau apa yang terjadi di sana, bahkan tidak tau apa itu Wadas, maka ini adalah KEDUNGUAN. Begitu juga saat Paslon 01 yang selalu diserang terkait dengan Rumah DP 0 Persen. Pertanyaannya adalah apakah benar janji politik itu tidak terlaksana sama sekali? Maka perlu dicari sumber beritanya, bukan justru ikut mencuit bahwa kerjanya nol besar tanpa berusaha mencari tau. Sekali lagi, literasi itu penting kawan-kawan. Orang yang rendah literasi akhirnya lebih mengedepankan rasa yang justru semu dan manipulatif. Disini saya tidak bermaksud untuk berdebat soal siapa pilihan kawan-kawan sekalian. Itu tidak penting bagi saya, karena kita semua punya alasan untuk memilih, bahkan dengan alasan absurd sekalipun. Tapi di sini saya hanya ingin mendiskursus soal pentingnya literasi dalam mencari makna dari sebuah perkataan atau tulisan.

Itu sudah pendapat saya, bagaimana dengan kawan sekalian?

Leave a comment