[Resensi Novel] Sepatu Terakhir

sepatu

Sepatu Terakhir, begitu judul bukunya. Buku ini sebenarnya sudah lama tersusun rapi di rak buku namun baru mulai dibaca dua hari yang lalu. Alasan saya membeli buku ini pun karena saya mengenal siapa penulisnya. Toni Tegar Sahidi, pria besar dengan pemikiran yang lebih besar menurut saya. Saya dan Sahid, begitu dia dipanggil, pernah beberapa kali terlibat dalam diskusi dunia kampus. Satu hal yang masih saya ingat ketika itu sedang berbicara masalah Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas MIPA Universitas Brawijaya. Saya mengeluarkan sebuah quote lalu disempurnakan oleh Sahid. Saya mengatakan “You are what you read” dan Sahid menimpali “you are what you write“. Saat itu saya merasa risih dengan pernyataan Sahid, maklumlah saya lebih tinggi satu tahun dari angkatannya. Ini masalah ego saja. Saya sendiri baru sadar setelah mulai menulis lagi. Memang benar bahwa kita adalah apa yang kita tuliskan. Setelah itu, kami seakan menjadi rival tidak tertulis dari sisi organisasi. Wah kenangan itu lucu juga bagi saya karena belum bisa melihat perbedaan pandangan. Tapi saya tidak ingin membahas kisah masa lalu saya dengan Sahid, tetapi lebih tepatnya membahas novel beliau. Buku novel ini saya beli setelah mendapat “mention” dari Facebook dari adik tingkat saya. Saat itu hanya gambar dan quote “3% Novel 97% Inspirasi”. Saya langsung penasaran dengan novel karangan Sahid, dan beberapa minggu setelah itu saya membelinya di Toko Buku Gramedia.

Banyak hal yang menarik saya dapatkan dari novel ini. Sepatu Terakhir sebenarnya menceritakan tentang Pak Marwan yang seumur hidupnya tidak jauh dari sepatu memutuskan untuk pensiun dari membuat sepatu. Keinginan Pak Marwan ini awalnya ditentang oleh Alin, anak Pak Marwan. Bukan hanya Alin, namun ketiga karyawan beliau, Mbah Joy, Pak Kus, dan Mas Slamet juga menentang keinginan Pak Marwan. Apalagi desain sepatu Pak Marwan menjadi trend setter di kalangan pabrik sepatu lainnya di Kota Blitar. Novel ini menceritakan pergolakan batin tokoh utama, Alin, dengan ayahnya, Pak Marwan. Pak Marwan sendiri beralasan bahwa beliau sudah tua dan ingin menikmati hidup, makanya mengambil keputusan untuk berhenti membuat sepatu. Di balik pergolakan batin antara anak dan ayah, karyawan dan pimpinan, muncul sebuah ide untuk membuat keputusan pensiun Pak Marwan menjadi unik. Akhirnya Alin, Pak Marwan, Mbah Joy, Pak Kus, dan Mas Slamet membuat perjanjian, Perjanjian Isorjati namanya, bahwa Pak Marwan boleh pensiun dengan syarat harus membuat sepatu terakhir sebagai masterpiece-nya. Uniknya lagi sepatu terakhir ini dibuat untuk diberikan secara gratis dengan syarat pemilik sepatu harus bercerita tentang perjalanan mereka mengenakan sepatu tersebut. Pemilik sepatu juga dipilih oleh Pak Marwan sendiri melalui proses seleksi. Selain itu sepatu tersebut tidak boleh dijual dan hanya boleh diberikan secara gratis. Sepatu terakhir ini diberi nama AA Tom Whittaker. AA adalah trade mark pabrik sepatu Pak Marwan, sedangkan Tom Whittaker adalah tokoh yang menginspirasi Pak Marwan.

Cerita pemilik pertama AA Tom Whittaker dimulai dari seorang penjual balon. Bagaimana seorang penjual balon yang sehari-hari tidak membutuhkan sepatu untuk berjualan malah mendapatkan AA Tom Whittaker? Sepatu tersebut bahkan ditawar oleh pejabat sampai jutaan rupiah namun Pak Marwan malah memilih memberikan AA Tom Whittaker kepada penjual balon. Di sinilah cerita penuh inspirasi muncul melalui sepatu tersebut. Ada sebuah perubahan hidup yang terjadi ketika sepatu itu dipakai menjual balon oleh sang pemilik. Walaupun bukan sepatu itu yang mengubah hidup si penjual balon, namun begitulah Allah SWT merencanakan kehidupan hamba-NYA. Kehidupan sang penjual balon berubah sejak mengenakan AA Tom Whittaker. Bukan hanya secara ekonomi namun juga secara pola pikir.

Perjalanan AA Tom Whittaker tak hanya berhenti ke penjual balon karena setelah itu sepatu tersebut berpindah tangan ke seorang guru. Bukan hanya seorang guru biasa saja, namun guru luar biasa. Sang guru merupakan korban keganasan korupsi di dunia pendidikan dan harus diasingkan ke wilayah yang tidak menghargai pendidikan. Cerita sang guru juga unik sebagaimana dia mendapatkan sepatu itu. Namun sekali lagi, bukan karena sepatu itu yang mengubah pendirian sang guru. AA Tom Whittaker hanya pembuka jalan untuk mencapai puncak kejayaan sebagai guru hingga diundang oleh pihak Istana Negara. Uniknya lagi ketika sang guru hendak memindahtangankan, sepatu tersebut justru hilang saat sholat di masjid kantor bupati.

Sekalipun hilang digondol maling, ternyata AA Tom Whittaker sekali lagi ditemukan oleh orang yang hidupnya berubah akibat sepatu itu. Bukan karena dipakai saja, tetapi karena ingin digunakan sebagai alat lemparan. Sepatu tersebut dibeli oleh mantan preman yang berjualan pecel lele di sebuah pasar. Saat itu sekumpulan kucing yang sering mengganggu ingin mengambil makanan dari pelanggan. Sang penjual yang sudah terbiasa melempar kucing tersebut kalap mata ingin melemparnya dengan AA Tom Whittaker. Untunglah ada seorang pelanggan yang menghalangi. Secara tidak langsung AA Tom Whittaker menjadi media pembuka jalan pertemuan antara sang penjual dengan pelanggan setianya. Sekali lagi sepatu tersebut hilang ketika ingin diserahkan ke orang lain. Hilanglah cerita AA Tom Whittaker bersama orang yang mengambilnya.

AA Tom Whittaker sebenarnya bukanlah masterpiece dari kisah pensiun Pak Marwan. Sepatu itu hanya pembuka jalan saja untuk perubahan yang lebih besar. Dari situ juga saya mendapatkan pelajaran bahwa Pak Marwan mencoba untuk keluar dari kondisi Institutionalized. Kondisi tersebut seperti penjara bagi Pak Marwan sehingga tak mampu memisahkan antara cintanya akan sepatu dengan cinta dengan Allah. Semenjak pensiun dari dunia sepatu memang banyak sekali perubahan yang terjadi dalam hidup Alin, Mbah Joy, Pak Kus, Mas Slamet, dan tentunya bagi Pak Marwan sendiri. Sekalipun banyak gejolak batin yang terjadi dalam novel ini, satu hal yang saya tangkap secara jelas. Tak selayaknya manusia menggantungkan kegembiraan dan kesedihan pada sesuatu yang fana. Selama ini Pak Marwan hanya bisa tersenyum lepas jika berurusan dengan sepatu dan menghapus kesedihan akan kematian anak sulungnya serta perceraian, juga dengan membuat sepatu. Pada suatu saat juga manusia akan bergerak untuk kembali pada kebenaran mutlak yang tidak ada satupun kefanaan dalamnya. Yaitu Allah SWT.

6 thoughts on “[Resensi Novel] Sepatu Terakhir

      1. Nama : Suharyono
        Alamat : Dinas Pertanian Pati Jl. Diponegoro No.23 Pati Jawa Tengah
        HP : 08157743495
        Mohon sms harga dan ongkos kirim

        Trims

        Like

      2. maaf mas bukunya apa sudah dikirim ? minta no hp dan no rekeningnya biar saya tranfer biaya + ongkir. trims

        Like

Leave a comment