Debat Cawapres Sengit, Gibran Jadi Bintang?

Setelah tulisan saya sebelumnya yang meragukan kemampuan Gibran tampil dalam debat cawapres, ternyata terjawab bahwa ternyata bukan dagelan tapi justru sengit. Gibran justru terlihat tampil gemilang dalam menyampaikan visi-misinya dengan istilah-istilah teknis kekinian. Sedangkan Muhaiman dan Mahfud MD terpaku pada gagasan mereka masing-masing menggunakan pendekatan politisi. Ada beberapa catatan yang bisa saya lihat dengan perspektif saya sendiri dari hasil debat cawapres kemarin (22/12/2023).

Kemampuan Menjawab Pertanyaan Panelis

Terlihat sekali bahwa Gibran seolah-olah sudah tahu apa yang akan ditanyakan oleh panelis. Jika berkaca dari diskusi publik yang dihadiri oleh Gibran atau pertanyaan dari wartawan saat pertemuan tertentu, Gibran tidak mampu memberikan jawaban. Tetapi semalam, semua pertanyaan yang disediakan oleh panelis mampu dijawab. Ada kontradiksi di sini menurut saya. Sama halnya jika melihat Debat Capres 2014 dan 2019 dulu, Jokowi terlihat sangat fasih dalam menjawab pertanyaan panelis, tetapi sering gagap dalam menjawab pertanyaan wartawan dan publik dalam forum bebas. Ini kontradiksi yang saya lihat. Tentu tidak salah jika memang Gibran menyiapkan diri dengan berlatih untuk mengikuti debat cawapres, ada perasaan mengganjal tapi in the blink of eyes hal ini tidak bisa dijelaskan. Saya penasaran bagaimana nanti jikalau forum umum dan bebas, apakah Gibran mampu tampil seperti di debat cawapres semalam atau kembali menjadi Gibran yang takut dengan diskusi?

Di sisi lain, saya melihat Muhaimin berusaha menguasai situasi dan mencoba menunjukkan kualitasnya agar setara dengan Anies Baswedan sebagai pasangan dwi tunggal. Tetapi, kemampuan beliau untuk menyesuaikan penyampaian dengan alokasi waktu debat yang masih harus dilatih. Seringkali beliau kehabisan waktu tanpa bisa menyelesaikan penjelasannya. Walaupun jika ditelisik lagi, tataran penjelasan beliau memang menyentuh hal yang substantif dan tidak terjebak dengan terminologi teknis. Nilai-nilai perubahan yang ingin disampaikan sudah tercapai.

Berbeda lagi dengan Mahfud MD yang menggunakan pendekatan storytelling seperti yang digunakan oleh Ganjar Pranowo di debat capres sebelumnya. Mahfud MD juga lebih banyak keluar dari tema utama karena menggunakan perspektif beliau di bidang hukum. Padahal tema debat seputar ekonomi. Walaupun memang, secara tidak langsung faktor kepastian hukum sangat berpengaruh pada kepastian ekonomi. Substansi dari pertanyaan panelis dapat dijelaskan dengan baik juga oleh Mahfud MD.

Melenceng dari Substansi

Hal yang paling sengit dalam Debat Cawapres menurut saya adalah saat sesi tanya jawab dan memberikan sanggahan. Hal ini menjadi turning point untuk masing-masing cawapres karena di sinilah mereka akan terlihat kualitas pemikiran dan gagasannya. Sekali lagi, sekilas Gibran terlihat mentereng di sesi ini. Kalau kawan menonton tanpa mengulik setiap gagasan yang disampaikan oleh masing-masing paslon, tentu Gibran lebih unggul. Namun, ketika saya coba menelisik apa yang disampaikan, ada beberapa hal yang saya temukan. Contohnya, klaim bahwa Solo lebih unggul dari Jogjakarta dalam hal kunjungan wisatawan. Nyatanya, wisatawan Jogjakarta sebesar 1,6 jutaan pengunjung dibandingkan Solo yang hanya 300an ribu pengunjung.

Soal pertanyaan regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud MD menurut saya keluar dari substansi karena sebenarnya ini tema untuk debat berikutnya. Terlebih lagi permasalahan energi terbarukan dengan pendekatan CCS menurut beberapa kalangan ahli di bidang migas, masih menjadi perdebatan juga karena bukanlah solusi tepat untuk lepas dari ketergantungan konsumsi migas di skala nasional. Jawaban Mahfud MD sebenarnya menyentuh substansi dari pertanyaan Gibran, tetapi sekali lagi, tujuan Gibran adalah “menyerang” pemahaman Mahfud MD soal istilah dan terminologi di bidang migas. Saya juga sebenarnya ingin mengetahui lebih detail lagi apakah Gibran paham atas apa yang dia tanyakan. Apakah hanya permainan terminologi belaka atau dia paham konsep di bidang migas.

Pertanyaan Gus Imin pada Gibran soal proyek nasional yang lebih banyak di Solo era Gibran juga tendensius untuk mengulik keterlibatan Jokowi sebagai bapaknya Gibran dalam memoles jejak politik sang putra mahkota. Namun, sayangnya pertanyaan ini tidak menyentuh substansi sebenarnya. Jika melihat jumlah proyek nasional yang masuk ke Solo di era Gibran (32 proyek), jumlahnya lebih sedikit dibandingkan era FX Hadi Rudyatmo (60 proyek). Padahal jika dirinci, seharusnya konteksnya adalah soal pemerataan pembangunan yang dimaksud dari pernyataan Gibran di sesi pertama. Sejak Jokowi naik di tahun 2014, kota Solo mendapatkan kucuran dana proyek nasional lebih banyak dibandingkan dengan kota sekunder di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Bahkan sangat timpang. Ini yang harusnya slepet oleh Gus Imin. Sekali lagi, Gibran unggul di sini.

Analogi Kebun Binatang

Pada saat Mahfud MD bertanya pada Gibran soal 23% rasio pajak, yang menurut saya juga sangat ambisius karena saat ini Indonesia hanya mampu mencapai 10% di tahun 2022, ada analogi kurang pas disampaikan oleh Gibran. Dia mengatakan bahwa saat ini kita tidak ingin berburu di kebun binatang. Maksudnya mungkin tidak ingin menarget rakyat Indonesia sebagai sumber utama penerimaan pajak. Tetapi analogi kebun binatang seolah-olah rakyat Indonesia adalah binatang peliharaan yang hanya diberikan makan tanpa berusaha memberikan ruang tumbuh secara natural. Inilah kenapa program makan siang gratis menjadi unggulan di paslon 02. Analogi ini menurut saya sangat menyinggung perasaan. Kalau boleh beranalogi, sebenarnya rakyat Indonesia itu tidak butuh ikan, tetapi hal yang dibutuhkan adalah kailnya dan kepastian bahwa tempat memancing tersedia dan aman. Kembali ke soal rasio pajak 23%, ini menunjukkan bahwa target pemerintah untuk mencapai itu akan membebani kehidupan rakyat Indonesia nantinya.

Menantikan Prabowo-Gibran Hadir Dalam Diskusi Publik

Soal debat cawapres, mau tidak mau, senang tidak senang, harus kita akui bahwa Gibran berhasil tampil gemilang sebagai bintang debat. Terlepas apakah dia menguasai substansi atau hanya sebatas terminologi. Tentu ini harus dibuktikan lebih baik lagi jikalau Prabowo-Gibran bisa hadir dalam diskusi publik dengan panelis yang tidak ditentukan oleh KPU. Coba hadirkan mereka dalam diskusi di institusi atau organisasi yang punya kapasitas untuk menguliti visi-misi pasangan ini. Kalau bicara tentang Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, tentu mudah sekali untuk menemukan jejak digitalnya dalam kehadiran mereka di diskusi publik. Tetapi Prabowo-Gibran, sulit sekali menemukan video atau rekaman yang menunjukkan kehebatan mereka yang sama persis pada saat debat resmi di KPU.

Sekali lagi, ini hanya opini pribadi saya. Masih banyak yang belum dikupas dari Debat Cawapres kemarin. Kalau menurut kawan-kawan bagaimana?

Leave a comment